Hilangnya Sifat Sense of Crisis Pada Mahasiswa
Oleh: Nasir Ahmad Khan Saragih
Kehadiran mahasiswa dalam sejarah telah terbukti membawa perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Posisi dan peran serta keunggulannya menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Hal yang tak kalah parahnya adalah mahasiswa cenderung mengkultuskan budaya kekerasan dalam berdemonstrasi. Mereka mengidentikkan demonstrasi dengan membakar ban, memukul petugas dan melempari suatu institusi bila negosiasi tidak mencapai titik kulminasi. Situasi ini sungguh berbeda dengan mahasiswa era reformasi yang berjuang membela kebenaran, menjunjung tinggi persatuan dan memperjuangkan kebebasan walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Oleh karena itu, tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis yang sense of crisis dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis yang sense of crisis akan sangat peka dan peduli terhadap kondisi bangsanya sehingga mereka mempunyai solusi-solusi untuk masalah tersebut. Insan akademis selalu mengembangkan dirinya yakni mengembangkan hard skill dan soft skill agar tercipta penerus bangsa yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan untuk bangsa.
Hal ini terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan dalam kehidupan berbangsa. Idealisme mulia ini mampu terealisasi mengandaikan eksistensi mahasiswa Indonesia cerdas dan bijaksana. Dalam artian bahwa mahasiswa harus kritis dan menujukkan citra diri sebagai mahasiswa bermartabat. Agak sulit menemukan padanan untuk sense of crisis yang tepat, singkat, padat, dalam bahasa Indonesia, kecuali mungkin: “kepekaan menghadapi krisis”. Wah, terlalu panjang kalimat itu rasanya, jika dibandingkan dengan sense of crisis yang hanya terdiri atas empat suku kata. Selain itu juga, padanan itu masih kurang tepat.
Kata sense dalam frasa sense of crisis, tidak hanya berarti kepekaan. Tetapi juga kewaspadaan, ketergesaan, kesegeraan, dan pada akhirnya kesigapan dalam menghadapi krisis, karena krisis adalah krisis, permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan, ditanggulangi. Bahasa Indonesia memang tergolong masih berusia muda, dan juga kosakatanya masih terbilang miskin, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa “tua” lainnya, yang sudah berabad-abad digunakan berbagai bangsa di dunia. Tetapi bukan soal itu yang ingin saya diskusikan. Melainkan “ruh” dari frasa sense of crisis itu sendiri (tanpa harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) yang ternyata tidak dimiliki para pengelola republik ini.
Menjadi mahasiswa juga bukan hanya sekedar gelar saja apalagi embel-embel yang anda bawa ketika anda pulang kampung dan terjun terhadap masyarakat. Berbicara mahasiswa adalah bicara tentang keberanian yang harus dimiliki setiap mahasiswa. Kamu seharusnya bangun dan bentuk sifat sense of crisis itu. Ketika lingkungan mu salah maka ambil alih lah, jika dosen mu salah maka tegurlah, jika kampus mu salah maka tegurlah dan jika pemerintahan mu salah maka turun lah untuk mengkritisinya. Semua bentuk itu bukan bentuk perlawanan yang tidak mempunyai tujuan melainkan bentuk kepedulian supaya kedepannya bisa lebih baik lagi.
Dengan demikian penulis mengajak kepada temen-temen semuanya lakukanlah gerakan dan kebijakan agar menjadikan dirimu dan lingkungan menjadi lebih baik, jangan karena mereka yang kamu kenal ada hubungan emosional sedikit kamu harus diam ketika ia salah. Agama juga mengajarkan “katakanlah yang benar walaupun itu pahit”. Jadilah sebagai mahasiswa yang benar benar kepada khittah perjuangannya bukan balik kepada mahasiswa yang hanya memikirkan keadaan perut yang sejengkal. Maka tak heran hilangnya kesadaran mahasiswa terhadap sifat sense of crisis itu memang nyata, buktinya saja hari ini kalian masih sibuk beretorika dan olah-mengolah. Sebagai bentuk pelajaran yang akan semua kita dapatkan, Munir, Marsinah dan Soe Hok Gie adalah tokoh yang memperjuangkan kebenaran dinegara ini. Karena menurut Munir sendiri, kebenaran tak akan mati.
Terakhir untuk menumbuhkan semangat kita bersama supaya kita tidak tertidur pulas oleh dongeng yang dibuat oleh penguasa, mari kita baca quote ini agar kita sedikit bisa tersenyum dan sadar.
Kehadiran mahasiswa dalam sejarah telah terbukti membawa perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Posisi dan peran serta keunggulannya menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Hal yang tak kalah parahnya adalah mahasiswa cenderung mengkultuskan budaya kekerasan dalam berdemonstrasi. Mereka mengidentikkan demonstrasi dengan membakar ban, memukul petugas dan melempari suatu institusi bila negosiasi tidak mencapai titik kulminasi. Situasi ini sungguh berbeda dengan mahasiswa era reformasi yang berjuang membela kebenaran, menjunjung tinggi persatuan dan memperjuangkan kebebasan walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Oleh karena itu, tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis yang sense of crisis dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis yang sense of crisis akan sangat peka dan peduli terhadap kondisi bangsanya sehingga mereka mempunyai solusi-solusi untuk masalah tersebut. Insan akademis selalu mengembangkan dirinya yakni mengembangkan hard skill dan soft skill agar tercipta penerus bangsa yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan untuk bangsa.
Hal ini terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan dalam kehidupan berbangsa. Idealisme mulia ini mampu terealisasi mengandaikan eksistensi mahasiswa Indonesia cerdas dan bijaksana. Dalam artian bahwa mahasiswa harus kritis dan menujukkan citra diri sebagai mahasiswa bermartabat. Agak sulit menemukan padanan untuk sense of crisis yang tepat, singkat, padat, dalam bahasa Indonesia, kecuali mungkin: “kepekaan menghadapi krisis”. Wah, terlalu panjang kalimat itu rasanya, jika dibandingkan dengan sense of crisis yang hanya terdiri atas empat suku kata. Selain itu juga, padanan itu masih kurang tepat.
Kata sense dalam frasa sense of crisis, tidak hanya berarti kepekaan. Tetapi juga kewaspadaan, ketergesaan, kesegeraan, dan pada akhirnya kesigapan dalam menghadapi krisis, karena krisis adalah krisis, permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan, ditanggulangi. Bahasa Indonesia memang tergolong masih berusia muda, dan juga kosakatanya masih terbilang miskin, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa “tua” lainnya, yang sudah berabad-abad digunakan berbagai bangsa di dunia. Tetapi bukan soal itu yang ingin saya diskusikan. Melainkan “ruh” dari frasa sense of crisis itu sendiri (tanpa harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) yang ternyata tidak dimiliki para pengelola republik ini.
Menjadi mahasiswa juga bukan hanya sekedar gelar saja apalagi embel-embel yang anda bawa ketika anda pulang kampung dan terjun terhadap masyarakat. Berbicara mahasiswa adalah bicara tentang keberanian yang harus dimiliki setiap mahasiswa. Kamu seharusnya bangun dan bentuk sifat sense of crisis itu. Ketika lingkungan mu salah maka ambil alih lah, jika dosen mu salah maka tegurlah, jika kampus mu salah maka tegurlah dan jika pemerintahan mu salah maka turun lah untuk mengkritisinya. Semua bentuk itu bukan bentuk perlawanan yang tidak mempunyai tujuan melainkan bentuk kepedulian supaya kedepannya bisa lebih baik lagi.
Dengan demikian penulis mengajak kepada temen-temen semuanya lakukanlah gerakan dan kebijakan agar menjadikan dirimu dan lingkungan menjadi lebih baik, jangan karena mereka yang kamu kenal ada hubungan emosional sedikit kamu harus diam ketika ia salah. Agama juga mengajarkan “katakanlah yang benar walaupun itu pahit”. Jadilah sebagai mahasiswa yang benar benar kepada khittah perjuangannya bukan balik kepada mahasiswa yang hanya memikirkan keadaan perut yang sejengkal. Maka tak heran hilangnya kesadaran mahasiswa terhadap sifat sense of crisis itu memang nyata, buktinya saja hari ini kalian masih sibuk beretorika dan olah-mengolah. Sebagai bentuk pelajaran yang akan semua kita dapatkan, Munir, Marsinah dan Soe Hok Gie adalah tokoh yang memperjuangkan kebenaran dinegara ini. Karena menurut Munir sendiri, kebenaran tak akan mati.
Terakhir untuk menumbuhkan semangat kita bersama supaya kita tidak tertidur pulas oleh dongeng yang dibuat oleh penguasa, mari kita baca quote ini agar kita sedikit bisa tersenyum dan sadar.
“maka onanikan lah pikiran kalian, namun jangan sempat ejakulasi dini, sehingga kamu puas dan tidak ingin berfikir kembali lagi”
0 Response to "Hilangnya Sifat Sense of Crisis Pada Mahasiswa"
Posting Komentar