Mengenal Istilah Kiri
Oleh: Nasir Ahmad Khan Saragih
Istilah “Kiri” sendiri sebenarnya bertumpu pada pergulatan ragam cita-cita yang tertuju pada perubahan yang memakmurkan. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan diskursus politik. Dalam pertautannya dengan politik itulah “Kiri” kemudian menjelma menjadi sebuah aliran, paham, hingga ideologi dalam gerakan maupun sistem politik.
Revolusi Prancis merupakan titik awal kemunculan istilah “Kiri”. Konon, pada abad ke-17 dan 18, di Prancis saat terjadi pergulatan di sidang-sidang Kerajaan, kelompok yang menentang dan sangat anti pada para bangsawan dan tuan tanah serta mereka yang mendapat hak istimewa dari Raja memposisikan diri di sebelah kiri persidangan. Posisi di sebelah kiri ternyata tidak hanya menujukkan tempat di mana mereka duduk, tetapi lebih dari itu ada cita-cita revolusi yang disimbolkan melalui istilah “Kiri” ini. Barulah dalam perkembangannya paham “Kiri” tidak hanya terbelenggu pada masalah-masalah monarki/feodalisme/kerajaan semata, tetapi juga dilekatkan dengan perjuangan komunisme dan sosialisme.
Jika merujuk pada buku yang ditulis oleh Cindy Adams yang berjudul Sukarno An Autobiography as told to Cindy Adams (1965), ada sebuah ungkapan menarik yang diutarakan Bung Karno: “Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan (kapitalisme dan imperialisme) yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah Kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang Kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi (penyakit takut akan cita-cita kiri) adalah penyakit yang ditentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilism.”Perkembangan “Kiri” selanjutnya, yang juga tidak terasosiasikan dengan komunis adalah diskursus dan gerakan “Kiri Islam”. Penamaan atas “Kiri Islam” ini sebenarnya merujuk pada terjemahan dari Al-Yasar Al-Islami, yang merupakan nama dari jurnal ilmiah yang diprakarsai Hassan Hanafi (cendekiawan Mesir) pada tahun 1981.
Penyematan istilah “Kiri” ini merupakan nama ilmiah yang dalam terminologi politik mengacu pada kritisisme. Istilah ini juga ada dalam terminologi ilmu kemanusiaan, sehingga memposisikan Kiri Islam berada dalam pihak orang-orang yang dikuasai, yang tertindas dan kaum miskin (mustad’afin). Kiri Islam didasarkan pada prinsip, bukan pada realitas. Ini dimaksudkan bahwa dalam Islam tidak ada “kiri-kanan”, selama pertautannya berada dalam tataran akidah. Konsep tentang “kiri-kanan” muncul karena Islam dan masyarakatnya berada dalam realitas historis dan sistem sosial tertentu. Untuk itu, selama umat Islam turut serta dalam kesejarahan umat manusia, selama itu pula khasanah keislamannya harus terus berkembang. Diskursus dan gerakan Kiri Islam juga menjadi titik balik dalam merespons kemenangan Revolusi Islam di Iran tahun 1979. Dasar pemikirannya pun diakui Hanafi, berakar dari pemikir Islam revolusioner Iran, Ali Syari’ati. Model revolusi ini mendapat tempat istimewa dalam perkembangan “Kiri Islam” selanjutnya serta bisa disejajarkan dengan model Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik, Rusia.
Entah mengapa dalam realitas sosial-politik Indonesia, istilah “Kiri” seringkali diidentikkan dengan komunis. Padahal, dari aspek kesejarahannya saja, istilah itu sudah muncul beberapa dekade sebelum Karl Marx lahir (1818-1883). Seperti penjelasan sebelumnya, istilah “Kiri” lahir tepatnya saat Revolusi Prancis, di masa sekitar Raja Louis XVI pada 1792. Setidaknya kita bisa belajar bersama bahwa ada perbedaan mendasar pula atas pola gerakan “Kiri” Revolusi Prancis dan setelahnya. Perbedaan ini terlihat dalam banyak hal. Saat Revolusi Prancis, semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) menjadi ide besar yang mempersatukan kaum buruh dan tani serta kaum borjuis meruntuhkan kezaliman pemerintah feodalistis. Gerakan “Kiri” setelahnya, khususnya dalam kemunculan komunisme, ide besar yang sering kita dengar adalah pertarungan kelas. Di mana rakyat (buruh dan tani) merepresentasikan kaum “Kiri” dan kaum borjuis sebagai kekuatan penindas baru menggantikan kaum feodal/kerajaan.
Kita sepenuhnya harus memahami bahwa secara historis, prinsip “Kiri” berarti perlawanan terhadap ketertindasan dan ketidakadilan, baik oleh kaum komunis, Islam, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip “Kiri” telah menjadi bagian dari pemikiran para pendiri bangsa ini, begitu juga dengan kita, para penerusnya. Memang ada sejumlah perbedaan pemikiran, seperti dulu Sukarno dan Hatta bertemu pada penentangan terhadap borjuisme. Hari ini, sebut saja Generasi-Y, punya satu konsep tentang pola sharing profit. Pola ini sebenarnya adalah counter terhadap dominasi, penumpukan modal dan hak-hak kekayaan individu (borjuisme). Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa “memiliki” tidak harus menguasai dan bersifat kepemilikan tunggal. Kebersamaan dengan ragam produk dapat pula dijual secara bersama dengan teknologi. Dan disanalah hasil kemudian dapat dibagi-bagi.
Generasi pendahulu dan kita hari ini bertujuan sama, yaitu tercapainya keadilan sosial di semua bidang. Dari segi populasi (khususnya di Indonesia) kaum “Kiri” hampir dipastikan tidak pernah berada pada deretan mayoritas. Hal ini tidak juga menjadikan mereka kurang berpengaruh. Dulu, dalam periode kepemimpinan Sukarno, sempat dibentuk Kabinet “Kaki Empat”, yang secara khusus dibuat untuk memberi ruang politik bagi Partai Komunis Indonesia. Hingga hari ini pun kelompok “Kiri” banyak bermunculan, baik dalam bentuk LSM maupun kelompok diskusi. Tetapi yang paling menyita perhatian hari ini adalah kelompok generasi baru yang sangat identik dengan creative community. Kelompok kreatif ini punya cara sendiri dalam melihat dan memposisikan modernitas Indonesia. Sebagian besar mereka memanfaatkan teknologi internet dalam berkontribusi di berbagai bidang. Sebut saja bidang pendidikan, ekonomi, transportasi, dan sebagainya. Yang sempat membanggakan sekaligus menggemparkan adalah munculnya komunitas kreatif yang memanfaatkan transportasi online. Apakah kelompok ini dapat disebut sebagai gerakan kiri baru? Entahlah, yang pasti generasi ini memiliki kontribusi atas cita-cita masyarakat adil makmur. Karena itu, perkembangan sains dan teknologi harus pula berjalan beriringan dengan sifat terbuka dari masyarakat. Media sosial harus menjadi alat penghubung dari Sabang sampai Merauke, tidak kemudian beralih menjadi ruang penyampaian kata yang penuh kebencian. “Kiri” sejatinya harus ditempatkan sebagai produk pengetahuan dan sikap terhadap ketidakadilan. Dengan begitu, masing-masing akan memiliki kontribusi berdasarkan pada apa yang digeluti. Kemerdekaan yang telah diperoleh hari ini tentu harus jauh dari marginalisasi dan eksploitasi. Karenanya, dalam mengisi kemerdekaan, bentuk maupun isi, harus dipahami sebagai usaha bersama. Kita sudah harus keluar dari belenggu dikotomi kanan-kiri. Kesemuanya harus bersama-sama mengubah struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya.
Istilah “Kiri” sendiri sebenarnya bertumpu pada pergulatan ragam cita-cita yang tertuju pada perubahan yang memakmurkan. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan diskursus politik. Dalam pertautannya dengan politik itulah “Kiri” kemudian menjelma menjadi sebuah aliran, paham, hingga ideologi dalam gerakan maupun sistem politik.
Revolusi Prancis merupakan titik awal kemunculan istilah “Kiri”. Konon, pada abad ke-17 dan 18, di Prancis saat terjadi pergulatan di sidang-sidang Kerajaan, kelompok yang menentang dan sangat anti pada para bangsawan dan tuan tanah serta mereka yang mendapat hak istimewa dari Raja memposisikan diri di sebelah kiri persidangan. Posisi di sebelah kiri ternyata tidak hanya menujukkan tempat di mana mereka duduk, tetapi lebih dari itu ada cita-cita revolusi yang disimbolkan melalui istilah “Kiri” ini. Barulah dalam perkembangannya paham “Kiri” tidak hanya terbelenggu pada masalah-masalah monarki/feodalisme/kerajaan semata, tetapi juga dilekatkan dengan perjuangan komunisme dan sosialisme.
Jika merujuk pada buku yang ditulis oleh Cindy Adams yang berjudul Sukarno An Autobiography as told to Cindy Adams (1965), ada sebuah ungkapan menarik yang diutarakan Bung Karno: “Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan (kapitalisme dan imperialisme) yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah Kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang Kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi (penyakit takut akan cita-cita kiri) adalah penyakit yang ditentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilism.”Perkembangan “Kiri” selanjutnya, yang juga tidak terasosiasikan dengan komunis adalah diskursus dan gerakan “Kiri Islam”. Penamaan atas “Kiri Islam” ini sebenarnya merujuk pada terjemahan dari Al-Yasar Al-Islami, yang merupakan nama dari jurnal ilmiah yang diprakarsai Hassan Hanafi (cendekiawan Mesir) pada tahun 1981.
Penyematan istilah “Kiri” ini merupakan nama ilmiah yang dalam terminologi politik mengacu pada kritisisme. Istilah ini juga ada dalam terminologi ilmu kemanusiaan, sehingga memposisikan Kiri Islam berada dalam pihak orang-orang yang dikuasai, yang tertindas dan kaum miskin (mustad’afin). Kiri Islam didasarkan pada prinsip, bukan pada realitas. Ini dimaksudkan bahwa dalam Islam tidak ada “kiri-kanan”, selama pertautannya berada dalam tataran akidah. Konsep tentang “kiri-kanan” muncul karena Islam dan masyarakatnya berada dalam realitas historis dan sistem sosial tertentu. Untuk itu, selama umat Islam turut serta dalam kesejarahan umat manusia, selama itu pula khasanah keislamannya harus terus berkembang. Diskursus dan gerakan Kiri Islam juga menjadi titik balik dalam merespons kemenangan Revolusi Islam di Iran tahun 1979. Dasar pemikirannya pun diakui Hanafi, berakar dari pemikir Islam revolusioner Iran, Ali Syari’ati. Model revolusi ini mendapat tempat istimewa dalam perkembangan “Kiri Islam” selanjutnya serta bisa disejajarkan dengan model Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik, Rusia.
Entah mengapa dalam realitas sosial-politik Indonesia, istilah “Kiri” seringkali diidentikkan dengan komunis. Padahal, dari aspek kesejarahannya saja, istilah itu sudah muncul beberapa dekade sebelum Karl Marx lahir (1818-1883). Seperti penjelasan sebelumnya, istilah “Kiri” lahir tepatnya saat Revolusi Prancis, di masa sekitar Raja Louis XVI pada 1792. Setidaknya kita bisa belajar bersama bahwa ada perbedaan mendasar pula atas pola gerakan “Kiri” Revolusi Prancis dan setelahnya. Perbedaan ini terlihat dalam banyak hal. Saat Revolusi Prancis, semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) menjadi ide besar yang mempersatukan kaum buruh dan tani serta kaum borjuis meruntuhkan kezaliman pemerintah feodalistis. Gerakan “Kiri” setelahnya, khususnya dalam kemunculan komunisme, ide besar yang sering kita dengar adalah pertarungan kelas. Di mana rakyat (buruh dan tani) merepresentasikan kaum “Kiri” dan kaum borjuis sebagai kekuatan penindas baru menggantikan kaum feodal/kerajaan.
Kita sepenuhnya harus memahami bahwa secara historis, prinsip “Kiri” berarti perlawanan terhadap ketertindasan dan ketidakadilan, baik oleh kaum komunis, Islam, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip “Kiri” telah menjadi bagian dari pemikiran para pendiri bangsa ini, begitu juga dengan kita, para penerusnya. Memang ada sejumlah perbedaan pemikiran, seperti dulu Sukarno dan Hatta bertemu pada penentangan terhadap borjuisme. Hari ini, sebut saja Generasi-Y, punya satu konsep tentang pola sharing profit. Pola ini sebenarnya adalah counter terhadap dominasi, penumpukan modal dan hak-hak kekayaan individu (borjuisme). Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa “memiliki” tidak harus menguasai dan bersifat kepemilikan tunggal. Kebersamaan dengan ragam produk dapat pula dijual secara bersama dengan teknologi. Dan disanalah hasil kemudian dapat dibagi-bagi.
Generasi pendahulu dan kita hari ini bertujuan sama, yaitu tercapainya keadilan sosial di semua bidang. Dari segi populasi (khususnya di Indonesia) kaum “Kiri” hampir dipastikan tidak pernah berada pada deretan mayoritas. Hal ini tidak juga menjadikan mereka kurang berpengaruh. Dulu, dalam periode kepemimpinan Sukarno, sempat dibentuk Kabinet “Kaki Empat”, yang secara khusus dibuat untuk memberi ruang politik bagi Partai Komunis Indonesia. Hingga hari ini pun kelompok “Kiri” banyak bermunculan, baik dalam bentuk LSM maupun kelompok diskusi. Tetapi yang paling menyita perhatian hari ini adalah kelompok generasi baru yang sangat identik dengan creative community. Kelompok kreatif ini punya cara sendiri dalam melihat dan memposisikan modernitas Indonesia. Sebagian besar mereka memanfaatkan teknologi internet dalam berkontribusi di berbagai bidang. Sebut saja bidang pendidikan, ekonomi, transportasi, dan sebagainya. Yang sempat membanggakan sekaligus menggemparkan adalah munculnya komunitas kreatif yang memanfaatkan transportasi online. Apakah kelompok ini dapat disebut sebagai gerakan kiri baru? Entahlah, yang pasti generasi ini memiliki kontribusi atas cita-cita masyarakat adil makmur. Karena itu, perkembangan sains dan teknologi harus pula berjalan beriringan dengan sifat terbuka dari masyarakat. Media sosial harus menjadi alat penghubung dari Sabang sampai Merauke, tidak kemudian beralih menjadi ruang penyampaian kata yang penuh kebencian. “Kiri” sejatinya harus ditempatkan sebagai produk pengetahuan dan sikap terhadap ketidakadilan. Dengan begitu, masing-masing akan memiliki kontribusi berdasarkan pada apa yang digeluti. Kemerdekaan yang telah diperoleh hari ini tentu harus jauh dari marginalisasi dan eksploitasi. Karenanya, dalam mengisi kemerdekaan, bentuk maupun isi, harus dipahami sebagai usaha bersama. Kita sudah harus keluar dari belenggu dikotomi kanan-kiri. Kesemuanya harus bersama-sama mengubah struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya.
“maka mereka yang merdeka secara pikiran dan tindakan yang akan dikenang”
0 Response to "Mengenal Istilah Kiri"
Posting Komentar