Antara Mudik dan Pulang Kampung, dari Kita oleh Kita dan untuk Kita
Oleh: Nasir Ahmad Khan Saragih
Pada hakikatnya tulisan kali ini hanyalah bertujuan bukan untuk kalian mengetahui isi tulisan ini, melainkan bagaimana kepekaan kalian terhadap masalah pada lingkungan kalian. Beberapa hari ini saya melihat beberapa kali putaran potongan video pada saat acara mbak Najwa Shihab dengan bapak presiden RI. Teman-teman, saya tidak ingin melucu apalagi ngawur. Namun saya hanya ingin mengajak buat kita semua lebih paham dan tidak blunder.
Menurut hemat saya, kita belum selesai dan melepaskan egosentris politik pada beberapa bulan yang lalu. Oleh karena itu banyak cibiran yang dilontarkan para netizen saat ada yang salah, bukan kah setiap manusia adalah tempatnya salah ? Namun kenapa banyak diantara kita masih tidak think positif didalam kehidupan ini yah, termasuk saya mungkin. Memang merubah sesuatu itu tidak mudah namun bukan hal yang susah.
Menyikapi hal yang booming ini, saya akan membuka cakrawala saya sedikit, merujuk arti kata Mudik didalam KBBI Daring ada dua yakni:
1. Masuk ke dalam kelas kata verba yaitu berlayar atau pergi ke udik atau hulu.
2. Masuk ke dalam kelas verba percakapan yang memiliki arti pulang ke kampung.
Prof. Dr. Rahayu Surtiati Hidayat, seorang ahli bahasa dan Guru Besar linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia berpendapat bahwa verba percakapan merupakan kata yang anti kaidah. (Maksud dari anti kaidah ialah verba tersebut digunakan dalam bahasa percakapan, tapi penggunaannya hanya sebatas karena sudah biasa digunakan, bukan karena verba tersebut adalah arti sebenarnya). Lebih lanjut, Prof. Rahayu mengatakan arti pulang kampung beda dengan mudik, namun kerap dipakai dalam bahasa percakapan.
Pertanyaannya:
1. Mengapa Bapak Joko Widodo mengatakan mudik berbeda dengan pulang kampung ?
Hal tersebut karena konteks pengertian mudik di Indonesia identik dengan hari raya Idul Fitri, sedangkan pulang kampung bisa di lakukan kapan saja.
2. Mengapa mudik dilarang atau akan dilarang sedangkan pulang kampung bisa jadi dibiarkan ? (seperti kata Najwa Shihab).
Tradisi mudik saat lebaran bertujuan untuk merayakan hari Raya Idul Fitri bersama sanak saudara dan menjalin silahturahmi. Dalam menjalin silahturahmi, sudah pasti akan ada perkumpulan atau interaksi fisik langsung yang terdiri dari beberapa orang. Sedangkan untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19, harus menjaga jarak aman, dan untuk sementara waktu tidak ada interaksi fisik langsung. Hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut.
Kalo pulang kampung, memiliki beberapa alasan. Bisa saja seorang pelajar atau mahasiswa yang sedang studi dan diliburkan ditengah pandemi yang entah kapan akan masuk, atau studinya telah berakhir dan tidak ada lagi urusan di wilayah tersebut, sehingga memutuskan kembali ke kampung halamannya. Atau seperti pertimbangan pemerintah yakni salah satunya ialah para perantau yang bisa jadi tinggal bersama dalam satu rumah kecil antara 8 atau 9 orang yang tidak bekerja atau belum mendapat pekerjaan, sehingga mau atau tidak harus kembali ke kampungnya. Karena jika tidak, dapat kesusahan untuk makan atau mencari nafkah. Yang mengherankan adalah, mengapa sampai ada yang mendiskreditkan seorang pemimpin negara hanya karna dirinya membatasi makna penggunaan kata mudik dalam istilah lumrahnya ?
Sebenarnya seperti ini teman-teman pembaca, karena biasanya kalau mudik jumlah orang yang akan bepergian akan meledak dan beramai-ramai, oleh karena itu mudik dilarang. Sebenarnya mudik juga secara banyak namun pulang kampung individual, boleh saja kapan pun kalau mudik hanya digunakan pada saat hari tertentu. Silahkan berpendapat di kolom komentar jika memang pernyataan ini berbeda dengan teman-teman semua, sudah tinggalkan egosentris politik mu, ini bukan perihal 01 dan 02 lagi, ini perihal kita.
Pada hakikatnya tulisan kali ini hanyalah bertujuan bukan untuk kalian mengetahui isi tulisan ini, melainkan bagaimana kepekaan kalian terhadap masalah pada lingkungan kalian. Beberapa hari ini saya melihat beberapa kali putaran potongan video pada saat acara mbak Najwa Shihab dengan bapak presiden RI. Teman-teman, saya tidak ingin melucu apalagi ngawur. Namun saya hanya ingin mengajak buat kita semua lebih paham dan tidak blunder.
Menurut hemat saya, kita belum selesai dan melepaskan egosentris politik pada beberapa bulan yang lalu. Oleh karena itu banyak cibiran yang dilontarkan para netizen saat ada yang salah, bukan kah setiap manusia adalah tempatnya salah ? Namun kenapa banyak diantara kita masih tidak think positif didalam kehidupan ini yah, termasuk saya mungkin. Memang merubah sesuatu itu tidak mudah namun bukan hal yang susah.
Menyikapi hal yang booming ini, saya akan membuka cakrawala saya sedikit, merujuk arti kata Mudik didalam KBBI Daring ada dua yakni:
1. Masuk ke dalam kelas kata verba yaitu berlayar atau pergi ke udik atau hulu.
2. Masuk ke dalam kelas verba percakapan yang memiliki arti pulang ke kampung.
Prof. Dr. Rahayu Surtiati Hidayat, seorang ahli bahasa dan Guru Besar linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia berpendapat bahwa verba percakapan merupakan kata yang anti kaidah. (Maksud dari anti kaidah ialah verba tersebut digunakan dalam bahasa percakapan, tapi penggunaannya hanya sebatas karena sudah biasa digunakan, bukan karena verba tersebut adalah arti sebenarnya). Lebih lanjut, Prof. Rahayu mengatakan arti pulang kampung beda dengan mudik, namun kerap dipakai dalam bahasa percakapan.
Pertanyaannya:
1. Mengapa Bapak Joko Widodo mengatakan mudik berbeda dengan pulang kampung ?
Hal tersebut karena konteks pengertian mudik di Indonesia identik dengan hari raya Idul Fitri, sedangkan pulang kampung bisa di lakukan kapan saja.
2. Mengapa mudik dilarang atau akan dilarang sedangkan pulang kampung bisa jadi dibiarkan ? (seperti kata Najwa Shihab).
Tradisi mudik saat lebaran bertujuan untuk merayakan hari Raya Idul Fitri bersama sanak saudara dan menjalin silahturahmi. Dalam menjalin silahturahmi, sudah pasti akan ada perkumpulan atau interaksi fisik langsung yang terdiri dari beberapa orang. Sedangkan untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19, harus menjaga jarak aman, dan untuk sementara waktu tidak ada interaksi fisik langsung. Hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut.
Kalo pulang kampung, memiliki beberapa alasan. Bisa saja seorang pelajar atau mahasiswa yang sedang studi dan diliburkan ditengah pandemi yang entah kapan akan masuk, atau studinya telah berakhir dan tidak ada lagi urusan di wilayah tersebut, sehingga memutuskan kembali ke kampung halamannya. Atau seperti pertimbangan pemerintah yakni salah satunya ialah para perantau yang bisa jadi tinggal bersama dalam satu rumah kecil antara 8 atau 9 orang yang tidak bekerja atau belum mendapat pekerjaan, sehingga mau atau tidak harus kembali ke kampungnya. Karena jika tidak, dapat kesusahan untuk makan atau mencari nafkah. Yang mengherankan adalah, mengapa sampai ada yang mendiskreditkan seorang pemimpin negara hanya karna dirinya membatasi makna penggunaan kata mudik dalam istilah lumrahnya ?
Sebenarnya seperti ini teman-teman pembaca, karena biasanya kalau mudik jumlah orang yang akan bepergian akan meledak dan beramai-ramai, oleh karena itu mudik dilarang. Sebenarnya mudik juga secara banyak namun pulang kampung individual, boleh saja kapan pun kalau mudik hanya digunakan pada saat hari tertentu. Silahkan berpendapat di kolom komentar jika memang pernyataan ini berbeda dengan teman-teman semua, sudah tinggalkan egosentris politik mu, ini bukan perihal 01 dan 02 lagi, ini perihal kita.
"Nanti, kalau semua pulih menjadi lembaran baru. Kita harus tetap menyediakan jarak agar selalu aman, sebab banyak terlalu dekat hanya berakhir sebatas teman."
💚
BalasHapusQuotenya bagus nih, asal jangan terjebak di zona friendzone ya wkwk
BalasHapus