Menjemput Asa Di Batas Rasa
Semudah itu aku mencintaimu, sesulit itu kau menyakitiku, seserius itu aku kepadamu, sebercanda itu kau terhadapku. Kita pernah membangun pondasi berlandaskan percaya, dikokohkan oleh rasa kasih dan sayang, dan berujung dihancurkan oleh rasa kekecewaan.
Begitulah kehidupan, mengingat satu luka sampai harus melupakan banyak bahagia. Orang yang normal biasanya memiliki rasa, berharap kepada sesuatu yang mungkin bisa membuat warna baru berujung menjadi pilu. Kalian pasti pernah merasakan bertemu dengan seseorang yang kalian percaya dia akan memberikan segala yang kalian inginkan, contohnya saja kenyamanan. Kalian menggantungkan kepercayaan ditingkat tertinggi diatas nalar, harus jatuh kebawah yang mungkin rasa itu tak akan pudar.
Iya, dia adalah rasa. Rasa yang kita percaya bisa memberikan euforia. Memberikan sugesti positif terhadap kita namun yang timbul adalah asanya yang tidak berasa. Asa adalah harapan, harapan yang bergantung pada rasa akan menyebabkan rasa yang tidak sempat dicicipi oleh pikiran dan langsung tertelan di relung hati yang paling dalam.
Pernahkah kalian juga menemukan seseorang yang padanya kita sedih, luka, lelah akan bahagia ? Atau pernahkah kalian berjuang rela berkorban menunjukkan kebesaran rasa namun di anggap cuma biasa ?
Mengapa harus menjemput asa, karena harapan diujung rasa berakhir kepada kekecewaan. Memang benar luka pasti sembuh, namun luka bisa saja tumbuh, ketika berhadapan dengan kenyataan sementara hidupmu masih di awang-awang kenangan. Bagaikan diterpa badai, kalian jatuh tak bisa untuk bangkit. Hanya ada dua pilihan menurut saya, memilih untuk pergi, atau bertahan kepada harapan yang tak pasti.
Kita semua pernah berharap, kita semua pernah bahagia dengan harapan kita masing-masing, dan kita semua pernah mengalami luka yang lama membekas yang tak bisa lepas dari isi kepala dan hati kita. Yang terpenting menurut saya dalam menanggapi rasa, jika setelah melepaskan hanya membuat tersiksa, kenapa harus egois untuk ingin kembali bersama. Jika kecewa yang jadi alasannya, untuk apa ada kata maaf yang sering terucap di setiap ucapan kita.
Kalau bung Fiersa Besari bilang, kecewa adalah konsekuensi dan bahagia adalah bonus. Kalau saya bilang, untuk apa berpura - pura bahagia padahal kenyataannya hati kita tersiksa setiap harinya. Semua luka pasti sembuh namun semua kenangan belum tentu bisa terurai. Kalau ingin bahagia bersama kenapa harus berharap pada rasa yang terus menyiksa. Ingat manusia akan melupa, bukan berarti kenangan akan terlupakan.
Semoga kuat untuk yang berjuang, semoga damai yang sedang berjalan dalam hubungan, dan semoga damai yang sedang bertanding melawan ego masing-masing. Aku, kamu, dan kita berhak untuk bahagia.
Begitulah kehidupan, mengingat satu luka sampai harus melupakan banyak bahagia. Orang yang normal biasanya memiliki rasa, berharap kepada sesuatu yang mungkin bisa membuat warna baru berujung menjadi pilu. Kalian pasti pernah merasakan bertemu dengan seseorang yang kalian percaya dia akan memberikan segala yang kalian inginkan, contohnya saja kenyamanan. Kalian menggantungkan kepercayaan ditingkat tertinggi diatas nalar, harus jatuh kebawah yang mungkin rasa itu tak akan pudar.
Iya, dia adalah rasa. Rasa yang kita percaya bisa memberikan euforia. Memberikan sugesti positif terhadap kita namun yang timbul adalah asanya yang tidak berasa. Asa adalah harapan, harapan yang bergantung pada rasa akan menyebabkan rasa yang tidak sempat dicicipi oleh pikiran dan langsung tertelan di relung hati yang paling dalam.
Pernahkah kalian juga menemukan seseorang yang padanya kita sedih, luka, lelah akan bahagia ? Atau pernahkah kalian berjuang rela berkorban menunjukkan kebesaran rasa namun di anggap cuma biasa ?
Mengapa harus menjemput asa, karena harapan diujung rasa berakhir kepada kekecewaan. Memang benar luka pasti sembuh, namun luka bisa saja tumbuh, ketika berhadapan dengan kenyataan sementara hidupmu masih di awang-awang kenangan. Bagaikan diterpa badai, kalian jatuh tak bisa untuk bangkit. Hanya ada dua pilihan menurut saya, memilih untuk pergi, atau bertahan kepada harapan yang tak pasti.
Kita semua pernah berharap, kita semua pernah bahagia dengan harapan kita masing-masing, dan kita semua pernah mengalami luka yang lama membekas yang tak bisa lepas dari isi kepala dan hati kita. Yang terpenting menurut saya dalam menanggapi rasa, jika setelah melepaskan hanya membuat tersiksa, kenapa harus egois untuk ingin kembali bersama. Jika kecewa yang jadi alasannya, untuk apa ada kata maaf yang sering terucap di setiap ucapan kita.
Kalau bung Fiersa Besari bilang, kecewa adalah konsekuensi dan bahagia adalah bonus. Kalau saya bilang, untuk apa berpura - pura bahagia padahal kenyataannya hati kita tersiksa setiap harinya. Semua luka pasti sembuh namun semua kenangan belum tentu bisa terurai. Kalau ingin bahagia bersama kenapa harus berharap pada rasa yang terus menyiksa. Ingat manusia akan melupa, bukan berarti kenangan akan terlupakan.
Semoga kuat untuk yang berjuang, semoga damai yang sedang berjalan dalam hubungan, dan semoga damai yang sedang bertanding melawan ego masing-masing. Aku, kamu, dan kita berhak untuk bahagia.
"Teruntuk kamu yang sedang membaca tulisan ini. Tersenyumlah, meski sedang banyak masalah yang sedang dihadapi. Raga kita juga butuh jeda dari segala kesibukannya. Beri ia ruang, jangan terus-terus dipaksakan.
Author: Nasir Ahmad Khan Saragih
Asiikk
BalasHapusTerkadang ingin ku teriakkan kepada rasa, kenapa harus ada bila indah pada awalnya dan berakhir dengan kesedihan....
BalasHapus